Sudut Pandang Rumi~
"Rumi! Waktunya bangun!"
Apa sih yang salah sama wanita ini? Dia terus teriak tanpa alasan. Aku gak banget buat hari ini. Aku mulai sekolah baruku hari ini di tengah semester. Aku dipecat dari sekolahku yang lain karena berantem dan berdebat sama staf. Mulutku gede dan kayaknya bikin aku banyak masalah. Aku dipecat dari sekolah terakhirku karena aku hajar tiga cowok dan alasan aku dipecat dari sekolahku yang lain adalah karena hajar petugas keamanan dan berdebat sama Kepala Sekolah. Banyak orang takut sama aku cuma karena aku gak banyak ngomong, aku gak debat terlalu lama, satu kata atau gerakan salah dari lo dan lo bakal kena bogem mentah. Aku gak peduli siapa lo selama tangan gue bisa nyentuh lo, lo bakal kena pukul. Nama gue Rumi Richards. Umur gue 18 tahun dan gue tinggal sama Ayah dan Ibu tiriku. Ayah nikah lagi setelah nyokap gue meninggal dan gue seringkali gak akur sama dia dan istrinya yang baru. Jangan tanya kenapa.
Oh dan gue juga gay.
~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~
"Rumi, waktunya berangkat."
Gue menghela napas. "Gue denger kok pertama kali, tante."
"Rumi jangan kurang ajar!" Ayah gue bilang sambil jalan ngelewatin kamar gue.
Kenapa sih orang tua harus nyebelin banget. Gue bangun dan pergi ke kamar mandi terus mandi dan sisiran. Gue dandan dan turun ke bawah. Gue duduk di meja sementara Ibu tiri gue bawain sarapan gue tapi gue gak peduli dan pake laptop gue buat dorong piringnya. Maksud gue bukan mau kurang ajar sepagi ini tapi gue lagi gak mood buat ngurusin orang tua gue atau mengakui pancake gosongnya dia.
"Siap buat hari pertama kamu, sayang?" dia nanya.
"Gak, gue gak mau pergi." Gue jawab.
"Ya udah kamu harus pergi." Ayah gue bilang. Dia ngusap-ngusap perut Ibu tiri gue dan senyum-senyum kayak orang gila, Dia hamil anak gue.
Setelah gue kirim kerjaan gue ke printer, gue balik ke atas dan sikat gigi terus ambil kunci gue. Gue turun ke bawah dan naro laptop gue di tas dan ambil beberapa granola bar.
"Jaga diri ya, Nak." Ayah gue bilang.
"Gue usahain." Gue nyengir ke dia.
"Dada Rumi." Ibu tiri gue bilang.
Gue cuma ngangguk dan keluar rumah.
Gue nyetir ke sekolah dengan musik nge-blasting di telinga gue karena gue suka gitu. Gue masuk ke sekolah dan keluar. Tempat ini sebenernya lebih bagus dari yang keliatan di foto-foto online. Ada anak-anak ABG lari-larian dan ngobrol dalam kelompok. Gue masuk ke sekolah, sambil gitu semua mata tertuju ke gue. Bisikan-bisikan bisa didenger tentang gimana gue keliatan kayak pemberontak, gimana gue hot dan semua hal beda yang lo harapin dari anak-anak ABG. Gue terus jalan sebentar terus baru nyadar, gue gak tau mau kemana. Seorang anak lewat gue dan gue tepuk pundaknya dia nengok dan senyum ke gue.
"Hai, gue bisa tebak lo anak baru, nama gue Chad, mau gue tunjukin sekeliling?"
Gue bisa tebak dia orangnya sopan, dan culun juga. Gue belum pernah liat bingkai kacamata tebel kayak gitu seumur hidup gue dan jumlah buku yang dia pegang.
"Iya, nama gue Rumi btw."
"Senang ketemu lo jadi kelas apa yang lo punya duluan?"
"Gue gak tau gue harus ke loker dulu mereka naro jadwal gue di sana."
"Oke, ayo."
Kita jalan di koridor dan berhenti di loker nomor yang ada di email gue, loker 343. Gue masukin kode yang ada di HP gue dan buka lokernya. Gue denger orang-orang kaget dari sekeliling gue dan gue balik badan buat liat semua orang natap tiga cowok jalan masuk ke sekolah. Gue gak peduli jadi gue balik lagi ke loker gue ambil jadwal gue. Seseorang nepuk pundak gue dan gue balik badan dan ada tiga cowok itu nyengir ke gue. Gue pikir mereka yang nge-run sekolah ini jadi gue tau gue gak bakal bersikap lembut sama mereka.
"Lo anak baru kan?" Yang di depan nanya.
"Gue gak mikir lo buta tapi iya." Dia menyipitkan mata ke gue.
"Jangan ngomong sama kita kayak gitu." Dia mendesis,
"Kecuali lo nyokap gue, gue bakal ngomong sama lo sesuka gue." Gue ngasih mereka seringai jahat.
Chad berdeham.
"Um... hai Damien, ini Rumi dia baru aja dateng jadi bisa gak sih lo biarin dia sendiri?"
Dia liat Chad dengan ekspresi kesel terus balik lagi ke gue.
"Rumi ya? Apa? Nyokap lo keabisan nama." Dia bikin muka sok merajuk dan temen-temennya mulai ketawa, bahkan beberapa orang deket situ.
Kemarahan menjalar ke gue pas gue bikin tinju gue nyentuh rahang dia dan dia jatuh ke tanah. Berani-beraninya dia ngomongin nyokap gue!
Dia berdiri lagi dan megangin rahangnya. Orang-orang di sekitar kita berhenti dari yang mereka lakuin dan sekarang natap kita. Beberapa kaget dan beberapa muka nunjukin ekspresi geli.
"Bro, lo gila!" Damien teriak dan ngusap rahangnya.
"Terus kenapa? Apa yang bakal lo lakuin sekarang?" Gue nyengir pas gue liat kebencian dan kemarahan di matanya
Dia gerak ke arah gue dan gue nyengir siap buat nerima apapun yang dateng.
"Gak usah, Damien, biar Isaac yang ngurusin dia besok."
Cowok di sebelah kiri bilang. Megangin Damien.
"Oke, siap-siap buat kena pukul di hari kedua lo Rumi." Damien nyengir pas mereka jalan pergi.
"Gak sabar!" Gue teriak ke mereka.
Bisikan mulai di sekitar kita.
Gue balik ke Chad yang berdiri di sana membeku. Gue jentikin jari ke mukanya dan dia ngedip beberapa kali.
"Bro lo punya mulut gede, Isaac bakal bunuh lo! Kenapa sih lo mukul Damien?"
"Siapa sih anak Isaac ini?" Gue nanya.
"Isaac itu ketuanya tiga orang itu, dia serem gue gede bareng dia jadi gue tau."
"Gak peduli siapa dia gue gak takut sama siapa-siapa."
Dia menghela napas.
"Jauhin dia Rumi dia itu masalah."
"Dan karena itu, gue bakal main-main sama dia besok." Gue nyengir.
"Mending kita keliling sekolah aja deh." Chad menghela napas lagi.