ARTEMISIA
Hidungku mengkerut waktu keluar dari kamar kelima di rumah.
Saya udah nyari Julie satu jam ini. Tapi, gak ketemu.
Aku balik ke aula dansa dan lihat beberapa orang yang lagi pesta udah pingsan.
Sementara yang lain muntah di tempat sampah, pot bunga, dan apa aja yang bisa mereka lihat.
Aku mau muntah waktu cewek pirang sempoyongan ke arahku. Bajunya kena muntah dan aku penasaran apa yang bakal dia lakuin kalo dia lagi waras.
"Julie!" Aku teriak waktu keluar pintu.
Aku narik napas dan buang pelan-pelan saat udara dingin nabrak wajahku.
Aku gosok-gosok telapak tangan di kulit yang terbuka dan sedikit menggigil.
Gak nyangka bakal sedingin ini. Soalnya, seminggu terakhir, cuacanya anget.
Lagipula, jarang banget dingin di waktu kayak gini di Lanes.
Heran banget malam ini dingin.
Jangan-jangan, laporan cuaca yang aku cek tadi salah.
Aku angkat bahu, jalan-jalan di sekitar parkiran rumah.
Dari luar, bangunannya gede dan kelihatan biasa aja. Satu-satunya yang beda adalah balkonnya dihias bunga-bunga yang cantik dan beda warna.
Aku cuma bisa kenalin bunga fuschia, morning glory, dan mawar merah.
Sisanya kelihatan asing. Tapi, aku yakin pernah lihat sebelumnya.
"Dia di mana ya?" tanyaku ke diri sendiri sambil berdiri di tempat parkir yang terang kena cahaya bulan.
Aku melotot ke tiang lampu yang ada di sampingku. Kayaknya cuma buat dekorasi doang soalnya gak ada lampunya.
Aku liatin ke langit dan sadar bulan lagi di puncaknya.
Terakhir kali aku lihat jam sebelum keluar, udah lewat jam delapan.
Jarang banget lihat bulan di luar terang benderang di jam segini. Tapi, aku gak kaget.
Mutar lagi waktu denger suara erangan pelan, aku lihat Julie lagi jongkok di atas tempat sampah.
Meringis, dia pegangin perut sambil muntah.
"Aku gak mau minum lagi." Dia merintih, ngelap mulutnya pake punggung tangan.
"Mungkin, kamu gak usah janji yang gak bisa kamu tepatin," kataku.
Aku angkat rambutnya yang nutupin mukanya. Aku udah sering denger dia janji gak bakal ngelakuin sesuatu.
Tapi, ujung-ujungnya, dia balik lagi ke hal yang udah dia janjiin gak bakal dia lakuin.
Ini bukan pertama kalinya dia janji gak mau minum alkohol. Mungkin udah kelima atau keenam kalinya. Malah mungkin lebih, soalnya sejak dia dapet SIM palsu, dia udah pesta terus dan itu udah dua tahun lalu. Waktu itu kita baru enam belas.
"Bagus deh kamu udah sadar." Aku tepuk-tepuk punggungnya, sebelum ngerapiin rambutnya jadi kuncir kuda.
Aku kasihin air mineral yang aku bawa ke dia, dia buka dan kumur-kumur, terus cuci muka.
"Artemis." Katanya setelah beberapa saat. "Kamu kelihatan lebih baik dari aku sekarang."
"Itu karena aku cuma nyentuh minuman doang. Lagian, gak terlalu beralkohol."
Julie yang bujuk aku buat datang ke pub. Itu malam sebelum kelulusan kita dan dia bilang kita gak bakal punya kesempatan buat keluar kayak gini lagi setelah malam ini.
Pas nyampe sini, dia maksa aku buat minum tequila yang dia pesen, tapi aku nolak. Tapi, itu gak bikin dia berhenti nyodorin minuman menjijikkan itu ke mulutku.
Aku minum yang lain soalnya gak mau kelihatan kayak orang sok suci yang dia sebut dan meskipun cuma sedikit alkoholnya, itu ngaruh ke aku soalnya aku cepet mabuk.
Pertama kali aku nyobain vodka, aku janji gak bakal nyentuh alkohol lagi karena aku mabuk parah padahal cuma minum beberapa teguk minuman setan itu.
Lagipula, aku udah bikin malu diri sendiri. Aku tepatin janji itu sampai malam ini.
Tapi, aku seneng aku gak minum lebih dari yang aku bisa.
"Ayo, kita pergi," gumamku, meluk pinggangnya.
Dedaunan berdesir dan udaranya makin dingin.
Aku pake tangan kosong buat narik lengan blus yang aku pake. Tapi, gak ada gunanya soalnya terlalu pendek.
Aku mengerang, sambil sedikit menggigil. Aku ngerasa Julie juga sama dan aku penasaran kenapa dia kedinginan padahal dia pake jaket kulit.
Aku bantuin dia resleting jaketnya sebelum jalan ke arah rumah.
Desiran daun terus berlanjut. Herannya, aku masih bisa denger meskipun aku udah ninggalin semak-semak tempat aku denger pertama kali.
Telingaku siaga waktu denger suara geraman pelan. Nengok ke belakang, aku lihat tempatnya kosong. Sama kayak yang aku tinggalin beberapa detik lalu.
Tapi, geraman itu terus berlanjut, bikin aku penasaran dari mana asalnya.
Aku angkat bahu soalnya gak lihat sesuatu yang aneh waktu merhatiin lingkungan sekitar.
Aku balik badan ke arah rumah sekali lagi dan menjerit waktu seorang cowok muncul di depanku.
"Sial!"
Nengok ke atas buat melotot ke cowok yang udah bikin kaget, napasku tercekat.
Tadi, aku pikir Aaron dan Jordan cuma cowok sempurna yang pernah aku lihat.
Orang di depanku ini kesempurnaan itu sendiri.
Meskipun dia bukan cowok, dia gak kelihatan lebih tua dari aku. Mungkin, dia sekitar awal dua puluhan.
Aku mengerutkan dahi waktu seringai muncul di wajahnya. Mungkin, dia udah lihat aku merhatiin dia terlalu lama.
Tapi, itu bukan salahku. Gak setiap saat aku lihat cowok setinggi 6 kaki menjulang di atas 5 kaki 6 inci ku.
Mata dia, aku gak bisa bedain warnanya soalnya cukup gelap dan aku gak masalah. Sepanjang yang aku bisa nilai fisiknya, itu bagus buat aku.
Aku beneran ngiler karena orang asing di depanku ini!
Dia kelihatan memukau dan cantik. Terlalu cantik buat kebaikannya. Gak seharusnya seganteng ini tanpa berusaha.
Tapi, aku gak komplain.
Aku bisa liatin dia terus, tapi aku tahu aku harus berhenti biar gak kelihatan aneh di depannya.
Aku jilat bibir sambil merhatiin wajahnya sekali lagi waktu aku udah ngiler lihat tangannya dan mikir apa yang bisa dia lakuin ke aku.
"Apa yang kamu pikirin?" Dia tertawa kecil, masukin tangannya ke saku celana.
Astaga!
Selain tampangnya, dia bahkan suaranya seksi!
Seks Tuhan banget!
Dari logatnya, dia kayaknya bukan dari sini. Dia punya aksen asing yang kental. Aku tebak dia orang Inggris soalnya aku punya guru yang ngomong persis kayak dia dan dia dari Inggris.
"Aku suka banget bilang aku Tuhan tapi aku bahkan gak deket ke sana." Orang asing itu bilang, bikin aku kaget dari lamunan.
Panas naik ke pipiku dan aku lihat ke lantai sebentar.
Dia sombong, aku catat. Tapi, dia lebih baik dari cowok-cowok mesum yang udah aku lihat di rumah tadi.
"Ngapain kamu di luar sampai selarut ini?"
"Uhm…" Aku mulai, ngabaikan pertanyaannya. "Kamu sekolah di sekitar sini? Maksudku, kuliah." Aku tambahin waktu lihat tatapan bingungnya.
"Sekolah?!" Dia tertawa kecil seolah-olah itu lucu.
Mungkin emang lucu, pikirku. Lagipula, aku berasumsi cara aku nanya pertanyaannya kedengeran agak aneh.
Tapi, aku percaya gak ada yang di atas pendidikan. Meskipun aku udah denger banyak orang dewasa sekolah di Lone Oaks High, aku belum pernah ketemu. Mungkin, aku udah pernah dan gak merhatiin salah satu dari mereka karena aku kadang-kadang gak peduli.
Orang asing di depanku ini kelihatan dewasa. Tapi, dia gak kayak anak SMA atau kayak lagi kuliah. Dia kelihatan lebih canggih dengan setelan jas yang dia pake dan rambutnya diikat cepol yang nambah kegantengannya.
"Artemisia…" Julie mengerang, narik aku.
Aku liatin dia dan pegang tangannya yang udah aku lepas, mungkin gak sengaja karena kaget banget.