Hal-hal yang tak terduga menantimu di mana-mana
-+-++-+++-+-+--+--+--+--+-++--++-++-++--+--+-
Pagi sekolah lagi, uh gue benci banget sekolah. Itu tempat bodoh di mana semua orang pada ngamuk. Sekarang udah jam tujuh pagi dan sekolah bakal mulai satu jam lagi dari sekarang. Gue harus siap-siap.
"Sialan! Sialan! Sialan!"
"Amy, kamu ngomong apa sih?" Ibu nanya dari dapur.
"Oh! Ibu, aku cuma pura-pura jadi bebek makanya aku bilang Kwek! kwek! kwek!"
Amanda, kamu udah mati deh sayang, pikirku dalam hati.
"Terus kenapa gitu? Kamu pura-pura jadi bebek? Pokoknya kamu udah telat buat sekolah. Sekarang cepetan."
Gue langsung lari ke kamar mandi buat mandi. Mandi paling singkat sepanjang sejarah mandi. Terus, gue lari ke cermin. Gue emang bukan cewek yang hot dengan badan dan lekuk tubuh sempurna, tapi gue juga gak jelek-jelek amat. Gue punya mata biru dan rambut cokelat. Singkatnya, gue seorang berambut cokelat. Satu hal yang gue senengin adalah toleransi gue terhadap tinggi badan yang susah diterima orang lain.
Eh, gue harus berhenti mikir! Gue nampar diri sendiri. Gue udah telat dan yang gue lakuin malah nyiapin diri biar diterima.
Sekarang waktunya buat dandan, tunjukin sedikit kekuatan ke dunia, Amanda.
Ya. Kekuatan yang hampir gak gue punya. Gue milih baju simpel buat penampilan nerd gue. Celana panjang dan kemeja putih polos.
***
Gue harus naik bis setiap hari dan gue benci banget, tapi cuma dua bulan lagi, terus gue bakal beli mobil baru gue. Gue nabung buat itu hampir setahun.
Tiba-tiba gue denger klakson dari belakang gue, di mana dia ada di BMW-nya - Cole, si playboy sekolah kita.
"Awas nerd!" dia teriak.
Gue tunjukin jari tengah gue ke dia. Siapa pun dia, gue gak terima kalau gak sopan.
Terus dia menghilang. Kayak dia gak pernah datang.
Akhirnya, bisnya dateng. Gue sampe sekolah hampir jam delapan pas mau mulai. Syukurlah!
Vess nungguin gue di gerbang sekolah. Vess temen gue dari TK. Dia satu-satunya temen gue di sekolah.
"Hei, Vess!" gue bilang ramah.
"Kamu ke mana aja sih? Gue nunggu di sini hampir setengah jam!" Seperti biasa, dia marah karena gue telat.
"Oh oh maaf Vess sayang! Sekarang cepetan, kelas pertama mau mulai." Gue coba nenangin dia.
***
"Amanda"
"Hadir!"
"Cole"
"Hadir!" Dia bilang sambil ngedip.
Oh, apa sih? Pertama-tama namanya sama kayak nama gue dan kedua, dia ngedip ke guru kita yang dibalas dengan senyuman.
Gue gak ada urusan sama dia. Tapi, dia selalu ngelirik gue dan berusaha ngomong dengan nada mengejek yang bikin darah gue mendidih setiap kali namanya disebut setelah nama gue.
"Hah! Sekarang mulai deh gombalnya," gue berbisik, gak puas.
"Amanda, ada masalah?" Ms Thompson nanya.
"Oh enggak kok, sama sekali enggak, Miss," gue jawab sambil senyum palsu.
"Kalau gitu perhatiin ya, kamu murid yang pintar banget."
"Uh makasih."
Si Cole bodoh itu ketawa lagi.
Gue tampar diri sendiri dalam hati. Konsentrasi, Amy. Kamu kan nerd di sini. Jangan peduliin si Cole bodoh itu.
***
Kita lagi jalan di lorong, pas istirahat. Sampai akhirnya kita denger bisikan.
"Coba tebak, siapa cewek barunya Cole?" Gue dan Vess denger beberapa cewek lagi gosip.
Vess maksa buat denger lebih banyak. Jadi, gue setuju.
"Veronica, si Veronica yang fashionista."
"Oh! Si jalang itu! Dia orang paling gak punya hati, Amy. Gue kasih tau deh."
"Uh, terserah! Dia kan jalang dan dia kan playboy, pasangan yang sempurna," gue bilang.
Vess ketawa. "Playboy itu apa sih?" Dia nanya sambil senyum sinis dan gue benci banget senyum itu. Dia lagi mikir sesuatu. "Yah, itu kombinasi dari Playboy dan bajingan, Vanessa."
"Kamu tau gak?"
"Apa?"
"Gue mikir Amy gue naksir nih."
Gue tampar diri sendiri dalam hati.
"Oh? Siapa orang sial yang kamu omongin?"
"Cole sayang. Sekarang jangan pura-pura bego!"
Kenapa? Ya Tuhan! Kenapa sih dia temen gue?
"Vess! Kenapa sih kamu mikir gue suka sama cowok itu! Kita gak ada kesamaan!"
"Oh, udahlah. Setidaknya sekali aja buat gue, coba lihat dia, ya." Dia nanya dengan senyum yang bikin luluh.
"Uh oke! Tapi kamu harus janji gak akan bilang dia naksir gue lagi, oke?"
Itu satu-satunya cara buat ngehentiin dia.
"Deal," dia bilang sambil senyum sinis.
"Deal deh kalau gitu," gue bilang.
Di mana sih playboy-playboy bodoh itu? Gue lagi nyariin dia di mana-mana. Akhirnya, gue nemuin dia di luar kantin lagi ciuman sama Veronica.
"Wtf! Gue gak bakal ngeliatin dia pas lagi ciuman sama cewek itu," gue bilang ke Vess.
"Enggak enggak enggak, kan deal. Sekarang lihat dia!"
"Oke," Hari ini emang bukan hari lo, Amy. Tenangin diri dan cuma lihat dia aja.
Gue mulai merhatiin dia dari ujung rambut sampai ujung kaki. Uh yah, dia punya badan yang kekar dengan bahu lebar. Ya ampun! Dia punya six pack. Dia juga punya mata cokelat dan rambut cokelat.
Dan tingginya kayaknya hampir 6"3. Ya Tuhan, dia tinggi banget. Pas gue lagi merhatiin dia, dia langsung ngelirik gue sambil senyum sinis.
"Sekarang, kamu gak mikir dia hot, Amy?"
"Sialan."
Dia terkekeh. "Gue tau dia hot banget, tapi kamu harus sabar ya, Amy," dia bilang sambil bercanda.
"Ssst! Gue rasa, dia ketahuan lagi merhatiin dia." Gue bener-bener khawatir sekarang.
"Amy, kamu salah sangka. Gue gak mikir gitu," dia nenangin gue.
"Uh oke, ayo kita ke kelas Vess, kita telat nih." Kita mulai jalan ke kelas matematika berikutnya. Dia gak suka pelajaran itu, tapi dia harus bareng gue seperti biasa. Mungkin, gue salah udah ngeliatin dia dan gue gak bakal ngulanginya lagi.
"Jadi, gimana dia?" Vess nanya.
"Siapa?"
"Cole Maxwell." Dia berbisik.
"Oh yah dia cuma cowok lain di sekolah ini dan kita punya satu hal yang sama."
"Dan apa itu?"
"Kita sama-sama punya rambut cokelat. Sekarang ayo, kita telat."
****
"Jadi anak-anak, ini soalnya, kalian punya waktu lima menit buat ngerjain ini," Mr Federer, guru matematika kita, bilang.
Yah gue tau gimana ngerjain soal ini, gampang banget. Gue ngerjainnya dengan mudah.
"Uh Mr Federer, aku udah ngerjain."
"Bagus banget Amanda," dia bilang dengan bangga.
"Sekarang ada yang gak tau gimana ngerjainnya?" dia nanya ke kelas buat mastiin gak ada yang jawab.
"Ya, Mr Federer!" Di belakang, seseorang teriak. Dan gue rasa gue tau siapa dia.
"Apaan sih Cole? Kamu gak ngerti?"
"Kenapa sih kita harus ngerjain ini?" dia teriak.
"Maksudnya?"
"Gak ada sih, gue rasa gue ngerti kalau matematika itu nyebelin, sama kayak kamu, Mr Federer," dia jawab.
Gue bisa ngerasain suasana yang tegang di sekeliling gue.
Kenapa sih kita harus ngerusak setiap kelas?
"Keluar! Sekarang!!!!"
Bakal bagus kalau dia jauh dari sini.
"Bravo!" dia bersorak sambil tertawa dan keluar dari kelas.
Sisa hari itu berlalu, semua kelas udah selesai. Vess punya mobilnya. Dia lagi nungguin gue di luar sekolah buat jemput pas kita mau ke McDonald's.
"Jadi Amy, gimana pesta hari Jumat?" Dia nanya.
"Uh Apa? Gue gak bisa ikut, gue ada proyek yang harus diselesaiin, lagian ibu gak bakal ngebolehin jadi gue gak bisa ikut."
"Yah, gue punya ide nih." Temen pirang gue senyum, bukan cuma senyum, itu senyum yang berbahaya yang artinya dia lagi mikir sesuatu yang jahat.
"OH ENGGAK ENGGAK ENGGAK! Jangan pernah mikirin itu, Vess."
"Oh iya iya iya! Dan kenapa enggak, kamu kan sahabat gue selamanya." Dan terjadilah lagi!
"Tapi pestanya siapa sih? Dan kenapa kita diundang?" Gue gak tau kenapa gue diundang. Jangan salah paham, tapi gue bukan tipe orang yang bisa ikut pesta. Gue kan biasa aja, simpel, dan membosankan, kecuali kecerdasan gue, tapi gak semua orang suka itu. Tapi Vess, dia beda banget sama gue. Dia bukan nerd. Dia tipe yang badas dan itu yang gue suka dari dia.
"Dylan yang ngundang kita," dia jawab dengan senyum nakal dan gue tau ada sesuatu sama dia.
"Tapi kan dia sahabatnya Cole dan kamu tau gue gak suka sama si playboy brengsek itu."
"Tapi Dylan gak kayak dia, dia beda," dia berbisik.
"Kok bisa ngomong gitu?" gue nuntut.
"Karena dia ngundang kita. Sekarang jangan drama dan kamu ikut gue."
"Nerd gak boleh ikut pesta Vess, karena mereka punya hal yang lebih penting buat dikerjain!"
"Oh diem deh! Kamu bakal seneng kok, begitu juga gue dan gak ada yang tau siapa kamu," dia meyakinkan gue.
"Kamu yakin?" gue bilang.
Kalau identitas gue gak kebongkar, gue bisa mikirin itu.
"Yakin banget!"
"Oke deh. Gue bakal ngapain tanpa kamu, kamu kan sahabat gue," dan dia meluk gue.
"Deal deh kalau gitu, kita bakal ke pesta."
"Hari Jumat," gue nambahin.